Artikel dan foto oleh Rizal Affif (@pedallingcoasting)

Pada titik ini, aku bertanya dalam hati; apa yang sesungguhnya sedang kami lakukan? 

Rizal Affif– 

PERTENGAHAN NOVEMBER. Musim kemarau tengah berlalu, dan rintik hujan mulai sesekali membasahi bumi — momen yang sempurna untuk bersepeda gravel

Bandung Barat mungkin tak secantik Bandung Selatan, namun tetap merupakan pilihan menarik untuk gravel riding. Tanpa pendakian panjang ke pegunungan, kawasan ini lebih mudah diakses oleh kebanyakan pesepeda. Bandung Barat juga memiliki jaringan jalan gravel yang luas, berkat operasi tambang lokal. Sudah setahun lebih aku tidak bersepeda ke Bandung Barat. Maka, pertengahan November itu, kuputuskan untuk kembali mengunjunginya.

06.40 Pagi. Fajar dan Ayung bergabung denganku di Taman Cikapayang, dan bersama-sama kami menuju ke barat. Aku berencana mengambil jalur alternatif yang lebih sepi dari Cimahi ke Kota Baru Parahyangan, namun hanya mengandalkan ingatan adalah sebuah kebodohan. Jadilah, tak lama kemudian, kami terpaksa kembali ke jalan utama. Dan, tentu saja, hampir tidak ada hal menarik dalam perjalanan di sepanjang jalan utama kota.

Hampir tidak ada yang menarik; kecuali sebuah insiden aneh, saat Ayung memecahkan lens cover GoPro miliknya saat menabrak polisi tidur. Selain satu kejadian itu, tak ada yang layak diceritakan. 

Hingga kami tiba di Kota Baru Parahyangan. 

Lebarnya jalan Kota Baru Parahyangan terasa melegakan dibandingkan jalan utama kota yang padat dan sempit. Kami pun meluncur santai lebih jauh ke barat. Rencana awalku adalah menyusuri jalur gravel di belakang lapangan golf Kota Baru Parahyangan. Namun Fajar mengusulkan jalur alternatif. “Lewat sana!” ia menunjuk saat kami melewati sebuah bundaran, dan mataku mengikuti telunjuknya. 

JALAN DUMP TRUCK YANG LEBAR DAN BERLIKU tampak seperti medan gravel yang sempurna. Pendakian singkat membawa kami ke dataran terbuka dengan pemandangan yang luas. Truk-truk besar sesekali melewati kami, menerbangkan debu halus ke udara. Aneh memang, debu adalah bagian dari hal yang kami cari hari itu; semuanya akan berubah menjadi lumpur seiring hadirnya musim penghujan kelak.

“Pilihan jalan yang bagus, Jar!” Kutepuk entar Fajar, dan tak bisa kutahan senyum puas. Benar-benar pilihan bagus, kataku lagi dalam hati, merasa beruntung karena memutuskan mengikuti usulannya… 

… tanpa sama sekali menyadari tantangan yang menanti kami di depan. 

PERJALANAN BERAWAL DENGAN BAIK. Jalur gravel rolling itu kosong, dan kami menikmati pemandangan indah untuk diri kami sendiri. Kami meluncur dengan santai, menikmati momen: angin sepoi-sepoi, gerak ritmis kayuhan, derak kerikil yang terlindas oleh ban saat kami melintas… 

Namun, seiring berjalannya pagi, matahari mulai naik lebih tinggi. Begitu juga panasnya… 

Seiring semakin panasnya udara, jalur gravel yang kami lalu semakin kasar, dan tanjakan menjadi semakin panjang dan curam. Perjalanan yang berawal santai dan menyenangkan, berangsur menjelma perjuangan. 

Sepetak hutan di puncak Bukit Cipangeran memberikan sejenak jeda dari Terik mentari yang tak kenal ampun. Dan tak lama setelahnya, jalan mulai mendatar, lalu menurun.

Namun bahkan turunannya pun tak kenal ampun!

Bebatuan lepas seukuran kepalan tangan terbukti terlalu berat untuk sepeda rigid kami–kami terus-menerus terguncang sampai ke tulang. Andai saja kami mengendarai MTB fullsus! Tetap saja, bergerak maju adalah pilihan terbaik kami. Jadi kami meluncur turun dengan hati-hati, sambil sesekali berhenti untuk mengistirahatkan cengkraman tangan pada brake lever

Pada titik ini, aku bertanya dalam hati; apa yang sesungguhnya sedang kami lakukan? 

PERBUKITAN TANDUS, seolah hangus akibat terik mentari sepanjang musim kemarau. Pemandangan yang menjadi bukti panasnya cuaca yang harus kami hadapi, saat kami terus meluncur turun sambil mencengkram erat brake lever.

Di ujung turunan, Agun menyambut kedatangan kami bertiga. Hal pertama yang kami berempat incar adalah minuman dingin dari warung setempat. Namun mereka hanya membantu sedikit. Karena teriknya matahari tengah siang, kami memutuskan untuk melewatkan segmen gravel di sekitar Bunker Batujajar dan langsung menuju jalan utama, tempat kami kembali menggeruduk sebuah minimarket untuk minuman dingin dan es krim.

Di titik ini Ayung pamit pulang karena urusan keluarga, sementara kami bertiga melanjutkan perjalanan ke segmen gravel terakhir sebelum kembali ke kota.

Sebagai warga lokal, Agun memandu kami melewati jalan belakang, dan mengenalkan kami pada segmen singletrack yang pendek dan manis di Selacau. Sebuah tanjakan singkat dan curam membawa kami ke sebuah bukit batu besar. Di sana kami beristirahat sejenak, dan mentari mulai tergelincir ke arah barat…

Dari bukit batu Selacau, perjalanan membawa kami melintasi jalan gravel yang kosong dan relatif datar, dengan lanskap yang subur, di Lagadar. Perjalanan kami kembali menjelma menyenangkan; kami mengayuh pedal dengan santai, sesekali menikmati semilir angin dan kicauan burung liar… 

Sebuah jalur gravel yang indah, hidangan penutup yang sempurna, sebelum kami kembali ke jalan utama dan pulang ke rumah. Untuk itu, aku bersyukur.

Catatan singkat tentang sepeda:

Seperti yang diharapkan, Polygon Bend R9X unggul di jalur gravel yang kasar. Ban gemuk dan chainstay yang panjang mendukung grip saat mendaki tanjakan berbatu, sementara head angle yang tergolong rebah memberikan tambahan kepercayaan diri dalam turunan berbatu. Di sini dropper post menunjukkan manfaatnya, karena menjadikan turunan yang menantang terasa lebih aman dan mudah. 

Singkatnya, Polygon Bend R9X adalah gravel bike paling percaya diri yang pernah kucoba di medan offroad

Di sisi lain, aku masih berharap memiliki suspensi aktif di jalan berbatu. Dan di medan offroad, menggenggam bar hood Bend R9X terasa lebih sulit dibandingkan flat bar MTB. Jadi… XC MTB, mungkin? 

Kontributor: Rizal Affif 

Cycling enthusiast sejak 2012, fokus untuk eksplor daerah Bandung. Mulai mendokumentasikan perjalanan dan eksperimen tentang sepeda di IG sejak 2016 (@pedallingcoasting).​ 

Niat awal share via Instagram dan website untuk jurnal perjalanan pribadi, belakangan juga untuk sharing rute, kesan, sama pemikiran-pemikiran tentang dunia persepedaan, khususnya mixed terrain/all road.​

What you can read next