Bagi sebagian besar orang, perjalanan ke Tanah Suci identik dengan pesawat. Singkat, praktis, hanya butuh belasan jam dari Indonesia ke Arab Saudi. Tapi bagi Sugeng Santoso, lebih akrab disapa Opa Sugai, perjalanan spiritual tidak harus selalu cepat. Ia memilih cara yang jauh lebih pelan namun penuh proses: mengayuh sepeda melintasi negara demi negara menuju Mekkah.
Keputusan itu muncul bukan dari ambisi ekstrem, melainkan dari rasa syukur dan dorongan untuk membuktikan bahwa usia tidak membatasi seseorang untuk menjaga kesehatannya, berolahraga, dan merawat mimpi. Pada tahun 2024, di usia 63 tahun, ia resmi memulai perjalanan yang ia sebut sebagai “niat yang tidak bisa ditunda lagi.”
Dari Keberatan Keluarga hingga Akhirnya Mengalir Restu
Sebelum berangkat, rumah Opa Sugai sempat dipenuhi kekhawatiran. Bukan soal jarak atau negara yang ia lewati, tapi tentang keselamatannya.
“Istri saya awalnya keberatan,” kenangnya.
“Ya mau bagaimana lagi… dilarang juga tidak bisa. Ya didoakan saja sehat dan selamat berangkat sampai pulang.” -istri Opa Sugai.
Dengan tertawa, Opa Sugai melanjutkan, “Anak-anak juga akhirnya mendukung.”
Restu itu menjadi modal pertama. Setelah itu, ia mulai menyiapkan diri: rute, logistik, latihan konsisten, serta pemeriksaan kesehatan. Perjalanan ini memang solo, tapi ia tahu tidak bisa dilakukan tanpa persiapan.
Untungnya adalah banyak kebiasaan kecill yang sudah ia pupuk, menjadi fondasi besar saat ia memutuskan mengayuh ribuan kilometer.
Namanya dikenal baik dan aktif di komunitas. Bahkan di luar niat persiapan Umroh pun, Opa selalu menyempatkan diri untuk gowes sedikitnya 100 km dan sudah dilakukan sejak 20 tahun ke belaka.
Perjalanan Dimulai dari Surabaya: Empat Setengah Bulan Menyebrangi Batas Negara
Opa Sugai gowes ke Mekkah, dilepas oleh beberapa komunitas sepeda Surabaya dan Sidoarjo.
Butuh empat setengah bulan untuk akhirnya mendekati Mekkah. Perjalanan Opa Sugai dimulai dari Surabaya, menuju Jakarta dan melaju ke Malaysia, lalu terus mengalir melewati berbagai negara Asia Tenggara, Asia Selatan, hingga Timur Tengah. Bagi Opa Sugai, rute itu justru menjadi ruang refleksi sekaligus bentuk rasa syukur.
Meski berangkat sendiri, jalur panjang itu tidak pernah benar-benar sunyi. Selalu ada cerita yang menempel di setiap kilometer.
Komunitas lokal menjadi sosok-sosok yang banyak menolong Opa selama perjalanan. Mereka menanti perjalanan Opa hingga tiba di negara/kota mereka, menyambut bahkan ada yang mengundang ke rumahnya untuk sekadar makan atau beristirahat.
“Kalau naik pesawat, ya langsung sampai. Tapi dengan sepeda, kita bisa melihat, merasakan, bahkan berinteraksi dengan masyarakat. Itu pengalaman yang nggak semua orang bisa dapat.” -Opa Sugai-
Setiap negara menyimpan kejutan. Terkadang berupa orang baik, terkadang berupa tantangan. Namun, dari semuanya, Opa Sugai selalu mengingat satu hal:
“Semua itu nikmat dari Allah. Tanp-Nya, saya bukan siapa-siapa.”
Tantangan Terbesar Bukan Pada Tanjakan: Visa Lebih Melelahkan dari Medan
Orang mungkin membayangkan perjalanan seperti ini penuh tanjakan ekstrem, gurun, panas, dan hujan. Tapi ketika ditanya apa yang paling melelahkan, jawabannya justru sederhana:
“Yang paling susah itu bukan medannya… tapi visa,” cerita Opa sambil tertawa kecil.
“Kalau fisik, ya Bromo masih lebih berat.”
Urusan dokumen membuat rutenya berubah-ubah. Ada negara yang hanya mengizinkan lewat cepat. Ada yang meminta proses panjang. Ada pula yang memberi izin tinggal sangat singkat sehingga ia harus mempercepat perjalanan. Semua itu membuat perjalanannya tidak sepenuhnya bersepeda. Ada hari ketika ia mengangkut sepedanya karena tidak mungkin mengayuh.
Ada tantangan administratif yang lebih rumit daripada tanjakan.
Namun, dari sinilah ia belajar bahwa perjalanan jauh dengan bersepeda bukan pernah tentang kesempurnaan yang sesuai rencana. Perjalanan panjang selalu memberi ruang untuk penyesuaian dan penerimaan.
Untungnya selama perjalanan jauh itu, Opa selalu ditemani oleh sepeda gravel Bend R9X kesayangannya.
Menjaga Komunikasi dengan Keluarga: Rindu yang Dirawat dari Jarak Jauh
Selama perjalanan, ia selalu menyempatkan diri video call dengan keluarga. Obrolan singkat setiap hari menjadi jembatan emosi, cara merawat rindu yang tidak bisa ditunda.
Meskipun ribuan kilometer terpisah dari rumah, komunikasi itulah yang memberi energi tambahan. Di banyak titik, ketika ia merasa lelah, suara keluarga menjadi alasan untuk kembali mengayuh.
Rahasia Fisik Kuat di Usia 63 Tahun? Bukan Soal Kekuatan, tapi Kesabaran
Untuk merayakan kemerdekaan Indonesia ke-79, Opa Sugai melakukan gowes ke IKN bersama Wirawan Dwi pada 2024 lalu.
Ketika banyak orang bertanya bagaimana ia bisa tetap kuat di usia 63 tahun, jawabannya sangat sederhana:
“Bukan tentang harus kuat, tapi harus sabar. Semua ada prosesnya. Nggak ada orang yang nggak kuat, semua orang bisa kalau mau melatih diri.”
Ia percaya tubuh manusia seperti mesin: harus dipakai, digerakkan, dan dirawat. Kebiasaan bergerak rutin ia lakukan jauh sebelum memulai perjalanan ke Tanah Suci. Dan seperti banyak pesepeda Indonesia, ia punya satu standar yang ia sebut sambil bercanda:
“Bagi saya, kiblatnya pegowes itu ya Bromo. Kalau sudah bisa Bromo, yang lain terasa enteng.”
Kemandirian: Prinsip Utama untuk Setiap Petualang Solo
Meski banyak pesepeda bermimpi melakukan perjalanan jauh, tidak semua sanggup menjalaninya sendiri. Bagi Opa Sugai, kemandirian justru bagian penting dari ekspedisi.
“Kalau mau ekspedisi, jangan terlalu berharap ada teman. Kalau niat sudah ada, jalan sendiri pun harus siap. Latihan konsisten, mental harus siap. Itu yang penting.”
Selama perjalanan, ia terbiasa memetakan rute sendiri, menyiapkan perbekalan, dan mengatur ritme perjalanan sesuai kondisi tubuh. Meski banyak komunitas lokal yang menyambutnya, ia tetap membawa prinsip bahwa perjalanan ini adalah tanggung jawabnya sendiri.
Pesan untuk Generasi Muda: Bergeraklah, Apapun Olahraganya
Ketika berbicara tentang alasan mengapa ia ingin terus bersepeda, jawabannya tidak pernah tentang pencapaian spektakuler. Pesannya tertuju pada anak muda yang tumbuh di era serba-digital.
“Sekarang zamannya gadget, tapi jangan sampai tubuh kita nggak terjaga. Olahraga apa saja boleh, tidak harus sepeda. Yang penting tubuh kita dipakai, dirawat. Karena sehat itu nikmat yang sering dilupakan.”
Bagi Opa Sugai, bersepeda adalah salah satu cara mengekspresikan rasa syukur. Namun ia percaya bahwa aktivitas apa pun yang membuat tubuh bergerak akan memberi dampak besar ketika usia bertambah. Kesehatan, menurutnya, bukan hadiah yang datang tiba-tiba, melainkan hasil kebiasaan kecil yang dilakukan bertahun-tahun.
Setiap Interaksi adalah Doa: Pembelajaran dari Jalan Panjang
Selama empat setengah bulan, Opa Sugai bukan hanya bertemu banyak orang, tetapi juga belajar memahami berbagai karakter, budaya, dan situasi. Ia merasakan bahwa perjalanan darat membuka ruang interaksi yang tidak mungkin didapat lewat pesawat.
Ia bertemu warga desa yang tertawa bersama, komunitas pesepeda yang mengantar beberapa kilometer, pedagang jalanan yang berbagi makanan, hingga orang asing yang menawarkan bantuan tanpa diminta. Baginya, semua itu adalah pengingat bahwa dunia ini jauh lebih penuh kebaikan daripada yang sering ia pikirkan.
Perjalanan yang Belum Selesai
Ketika tiba mendekati Mekkah, ia menyadari satu hal: perjalanan ini belum sepenuhnya selesai. Ia masih ingin kembali suatu hari nanti, dengan rute yang lebih panjang dan pengalaman yang lebih matang.
“Kalau bisa, saya mau kembali lagi… kali ini benar-benar full bersepeda sampai Mekkah.”
Tidak ada nada menantang dalam suaranya. Hanya ketenangan dan rasa syukur. Ia tahu perjalanan itu tidak mudah, tetapi ia percaya tubuh dan mentalnya masih sanggup jika ia mau mempersiapkan diri lagi.
Kayuhan yang Menjadi Doa
Kini, setelah kembali ke rumah, rutinitasnya tidak banyak berubah. Ia masih masih bersepeda, bahkan sempat menuntaskan gowes dari Surabaya ke Ibu Kota Nusantara (IKN), juga beberapa kali mengikuti gowes penggalangan dana untuk Palestina.
Bagi Opa, pola hidup aktif dan sehat itu harus dijaga. Kebiasaan itu ia lakukan bukan karena tuntutan, tapi karena ia ingin tubuhnya tetap dipakai agar tetap sehat.
Perjalanannya ke Mekkah lewat jalur darat menjadi bukti cinta kepada keluarga, bentuk syukur kepada Sang Pencipta, dan pengingat bahwa usia bukan penghalang untuk bermimpi. Setiap kilometer yang ia lalui adalah manifestasi ketekunan, kesabaran, dan keyakinan.
Di balik kisah itu tersimpan pesan sederhana: siapa pun, dari mana pun, dan pada usia berapa pun, berhak mengejar mimpinya. Karena pada akhirnya, Indonesia Bisa bukan hanya slogan, melainkan semangat yang hidup dalam setiap upaya kecil yang menggerakkan perubahan—satu kayuhan, satu langkah, satu cerita pada satu waktu.


